Sunday, October 27, 2013

Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China ... (edisi kota dan gaya hidup) - Part I

Ada pepatah yang mengatakan kalau kita harus menuntut ilmu sampai ke negeri China, hmm... akhirnya saya punya kesempatan untuk membuktikan pepatah ini (dalam arti sebenarnya ya wkwkwk). Tidak salah memang kalau China menyimpan banyak hal yang mungkin tidak akan kita temui selain di China. Dari 7 hari perjalanan saya di Guangzhou, Shenzhen, Macau dan Hongkong saya mendapatkan beberapa pengetahuan baru di sana. Salah satunya membuktikan rumor yang beredar selama ini soal RRC. Banyak traveller yang mengatakan kalau RRC itu orang-orangnya jorok, masakan China di negara asalnya tidaklah seenak di Chinese food resto di tanah air, dan masih banyak lagi rumor-rumor yang beredar tentang negara ini. Apakah itu semua benar ?

Selama 7 hari perjalanan saya di sana saya berusaha untuk membuktikan satu per satu pendapat-pendapat yang pernah saya dengar dan saya baca tentang China dan hasilnya hmm... 99% pendapat tersebut adalah benar adanya. Bahkan papa saya yang sebelumnya pernah ke sana pun mau tidak mau harus mengakui kebenaran tersebut. Selama ini papa selalu berangkat ke luar negeri dengan tur, jadinya sangat jarang berinteraksi langsung dengan segala keruwetan yang ada di setiap kota di negara tersebut. Kalau ikut tur kan tinggal datang duduk diam saja , tinggal naik turun bus dan mengikuti jadwal yang ada. Kali ini papa mau tidak mau harus mengikuti saya yang paling ogah ikutan tur. Secara budget traveling saya bisa membengkak kalau ikutan tur, yang biasanya 5 juta sudah all in termasuk biaya belanja, kalau ikut tur jumlah segitu belum tentu cukup untuk membayar biaya tur itu sendiri.  Saya akan mengawali pembuktian saya dengan testimoni-testimoni saya untuk setiap kota yang saya kunjungi saat ini.


Guangzhou
Dari HKIA - Hongkong International Airport saya langsung menuju Guangzhou dengan bus yang dapat dinaiki dari mainland coach terminal di HKIA. Perjalanan dari HKIA ke Guangzhou ini sebenarnya hanya sekitar 2 - 2,5 jam, tapi dikarenakan antrian di border maka bisa molor sampai 4 jam. Dari HKIA ke border / perbatasan Hongkong dengan RRC - saat itu saya melewati Huanggang - Shenzhen border, mobil yang digunakan untuk mengangkut penumpang adalah Alphard. Mobil ini hanya akan mengantar kita sampai border, setelah itu kita akan dipindahkan ke Bus yang akan mengantar kita langsung ke Guangzhou. Hari itu saya bersama 2 orang pasangan India, dan 2 orang Afrika, jadi total penumpang 6 orang.


China Immigration Inspection - di Shenzhen - Hongkong border


Antrian di border memang cukup lama, bukan karena banyaknya volume mobil, tapi karena prosedur pemeriksaan yang cukup ketat, dimana awalnya kita akan melewati imigrasi Hongkong - kalau melewati border ini penumpang tidak harus turun dari mobil, cukup mengumpulkan paspor ke driver dan nantinya driver akan memberikan paspor ke petugas imigrasi yang duduk didalam pos seperti halnya petugas tol. Nanti ketika mobil akan mendekati pos, bagasi mobil akan dibuka lebar dan pintu mobil akan dibuka supaya petugas imigrasi dapat mengecek setiap penumpang yang ada. Setelah melewati pos imigrasi Hongkong tidak jauh di depannya kita akan memasuki pos imigrasi RRC dengan bentuk pos yang sama dengan pintu tol kalau di Indonesia. Sama halnya dengan wilayah Hongkong, di RRC juga penumpang tidak perlu turun dari mobil, cukup angkat tangan saja kalau petugas menunjukkan paspor. Setelah semua paspor di stempel dan dikembalikan ke driver, maka mobil akan terus jalan menuju ke terminal bus yang letaknya tidak jauh dari pos pemeriksaan imigrasi tersebut. Nah disinilah seluruh penumpang akan diminta turun dan mengambil semua bagasi yang ada, selanjutnya staf bus dari perusahaan transportasi yang kita naiki akan langsung menunjukkan dimana letak bus kita berada, atau dimana kita harus menunggu bus yang akan kita naiki.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan kalau ingin menaiki mainland coach ini, pastikan rute perjalanan yang akan digunakan oleh setiap perusahaan transportasi. Saya kemarin memilih go go bus, yang ternyata rutenya melewati Huanggang bukan Lohu, kalau lewat Lohu setiap penumpang harus turun saat di  border untuk antri imigrasi, keuntungan lewat jalur ini, penumpang yang tidak memegang visa RRC dapat apply visa on arrival di counter yang ada, kalau lewat Huanggang tidak bisa. Saat itu saya bisa memakai rute itu karena saya memang apply visa RRC dari Surabaya - karena VoA hanya berlaku untuk Shenzhen special economic area saja, tidak berlaku untuk rute yang akan saya tuju Guangzhou.  Selanjutnya pastikan juga tempat pemberhentian bus saat di kota yang dituju, setiap perusahaan memiliki tempat pemberhentian yang berbeda-beda. Saat tiba di Guangzhou teman papa saya bilang kalau seharusnya kita naik CTS saja, karena CTS biasanya armada busnya lebih banyak, sehingga tidak perlu menunggu lama di terminal bus di border seperti yang saya naiki ini. Biaya bus dari HKIA-Guangzhou ini adalah HKD 250, semua perusahaan transportasi menerapkan tarif yang sama, yang beda hanya rute yang digunakan.

Saya baru tiba di Guangzhou 4 jam kemudian, jadi tambah lama lagi karena ternyata kota ini juga mengenal kata macet sama halnya dengan Jakarta. Sejauh mata memandang Guangzhou hampir sama dengan Jakarta, jumlah kendaraannya banyak, tidak beraturan, macetnya juga luar biasa panjang, orang menyebrang dimana-mana tanpa melihat ada / tidaknya zebracross, bedanya kalau di Guangzhou jalanannya lebih mulus, lebih banyak fly over dan kendaraannya lebih keren, rata-rata adalah mobil mewah yang brandnya biasanya muncul di logo quiz  seperti BMW, Audi, Lexus, GM,dll. Toyota bagi mereka adalah mobil biasa, jadi jangan heran kalau coach dari HKIA-border menggunakan Alphard.

Parkir mobil di kota ini juga luar biasa mahalnya, dengan lahan parkir yang luar biasa sempit pula. Parkir mobil di sini di hitung per jam, dimanapun itu, bukan cuma di pusat perbelanjaan tapi juga di pinggir jalan raya. Akan ada petugas parkir yang berpatroli di setiap ruas jalan untuk menarik retribusi parkir. Tarif sekali parkirnya kalau saya tidak salah adalah sekitar 15-20ribu per jamnya, dengan tempat parkir yang kalau di pinggir jalan biasanya sangat sempit. Jadi bayangkan saja ya, parkir di pinggir jalan itu posisi mobilnya lurus searah dengan jalan raya, dan model parkirnya 1 baris ke belakang gitu, jadi kalau lahan kosong yang ada di tengah-tengah ya pemiik mobil mau tidak mau harus bisa memasukkan mobilnya di tengah-tengah dua mobil yang terparkir di depan dan di belakangnya, kalau saya suruh parkir di sana mah, ogah deh.. bikin stres, mana mobilnya mobil mewah semua, kesenggol sedikit ganti ruginya mengerikan. Dijamin kalau terbiasa parkir mobil di sana, kalau parkir mobil di pusat perbelanjaan di Indonesia gak bakal susah, pasti terasa mudah, gak perlu maju mundur buat ngelurusin mobil, dijamin sekali coba langsung mantap tuh posisi mobil. Kalau saya tinggal di sana, saya mending naik subway saja deh kemana-mana, lebih murah dan aman gak perlu ribet urusin parkir dan bayar retribusinya yang mahal itu. Heran juga dengan orang sana, padahal punya mobil itu biayanya mahal lho, selain harga mobil yang gak kalah mahalnya dengan Indonesia, harga BBM di sana juga cukup mahal di atas 10 ribu rupiah / liternya, saya lupa angka pastinya. Bukan cuma BBM yang mahal, parkir pun mahal dan susah, tapi orang sana tetap belain beli mobil sampai volume kendaraan bermotor di sana gak kalah dengan kota-kota besar di Indonesia, bedanya di sana motornya lebih sedikit dan mobilnya mewah-mewah semua. Selidik punya selidik, katanya orang-orang sana itu belain beli mobil mewah demi gengsi, begitupula dengan gadget, semua menggunakan gadget terkini, kalau di Korea ama Taiwan mayoritas menggunakan gadget dengan merek lokal seperti Samsung dan HTC, di Guangzhou justru tidak ada yang menggunakan HP-HP merek China, Nokia aja gak keliatan. Mayoritas HP yang digunakan adalah smartphone keluaran Apple dan Samsung. Semua itu juga demi gengsi.  Alamak !

Hal lainnya yang saya pelajari dari Guangzhou adalah ritme kehidupan di sana yang bisa dibilang cukup lambat. Hanya orang-orang tua yang bangun pagi hari, anak-anak mudanya baru bangun tidur rata-rata di atas jam 10, kecuali mereka yang masih sekolah. Menurut teman papa, orang sana itu punya kebiasan bangun pagi (bagi orang tua) / bangun siang (bagi anak muda) dilanjutkan dengan minum morning tea. Morning tea itu berarti minum chinese tea beserta kudapannya yang tak lain tak bukan adalah dimsum beserta bubur. Morning tea biasanya berlangsung dari pagi-pagi hari sekali sampai jam 11 siang, biasanya orang-orang pada minum teh sambil bergosip layaknya di warung kopi ataupun membaca koran. Nah setelah itu, jadwal berikutnya adalah makan siang sekitar jam 12 siang - jam 2. Orang sana jarang banget makan nasi, menu makan siangnya adalah lauk semua tanpa nasi. Sekali pesan lauk, biar untuk 2 orang sekalipun, lauknya bisa 4-6 macam, minumnya tentu saja chinese tea lagi. Begitu kita duduk di resto pertanyaan pertama dari pelayan pasti mau minum teh apa. Pilihan tehnya sih standar layaknya resto Chinese food di indo, Tie Kuan Yin, Oolong, atau Chrysantenum tea. Teh ini adalah pesanan wajib, saya sebut wajib karena kita gak pesan pun pasti akan tetap ditagihkan. Setelah makan siang, jam 3 - 5 sore adalah saatnya afternoon tea bagi mereka, lagi dan lagi menu yang disajikan adalah teh dan dimsum. Makan malamnya sendiri mulai jam 7 - seterusnya dan untuk menu makan malam lagi dan lagi tanpa nasi putih. Tentu saja masih ditemani oleh teh. Biasanya di malam hari mereka juga mengkonsumsi bir. Sepanjang jalan semakin malam makin banyak saja orang-orang yang minum di pinggir jalan dan didalam resto pun pasti rata-rata pada minum. Bingung kan, dari tadi kok makan melulu, kapan kerjanya ya ?! Ya, menurut teman papa, memang mayoritas penduduk di sana itu tidak bekerja, mereka hidup dari hasil menyewakan rumah, ruko ataupun tanah mereka. Harga properti di sana memang luar biasa, kalau punya 1 saja aset properti di sana, di jamin hidup tenang tanpa harus kerja deh. Cukup bangun-makan-tidur saja. Hanya anak-anak muda mereka lah yang bekerja di sana, tapi katanya walau pun mereka bekerja itu jadwal 4 kali makan itu masih tetap berlaku. Ya ampun, saya di sana satu hari saja ya, perut ini sudah berasa penuhnya minta ampun, rasanya baru saja selesai makan, belum selesai dicerna, sudah diajak makan lagi.

Iklan menu di depan resto - penyajian aslinya juga persis seperti ini
Yang paling menarik dari makanan di Guangzhou adalah cara penyajiannya. Setiap makanan berupa unggas /hewan-hewan lainnya, selalu dalam bentuk utuh, saya bilang utuh karena kalau kita pesan ayam jago rebus ya, maka yang disajikan adalah ayam utuh lengkap dengan cenggernya yang diposisikan dengan kepala ayam berdiri tegak di atas meja gitu. Saat itu saya makan menu steamboat dengan menggunakan buah kundur sebagai wadah steamboatnya, nah ayam yang disajikan adalah ayam mentah yang sudah dikuliti dengan potongan-potongan + kepala ayam lengkap dengan cengger merahnya, jadi kepala ayamnya itu berasa kepala ayam dipotong terus dikuliti gitu aja. hiiiiiii... saya langsung shock waktu liat. Hal ini juga berlaku untuk burung dara, bebek, bahkan hewan ekstrim seperti buaya, uxxx dkk.... ciri utama hewannya tetap akan ditonjolkan dalam penyajiannya. Fiuh.. beneran bikin shock, sayang saya tidak foto saat itu, selain memang jijik, di resto itu kebetulan ada larangan untuk mengambil gambar.  Hal menarik lainnya adalah sebelum makan mereka selalu membilas alat makan mereka dengan teh, jadi biasanya begitu tamu datang, yang disajikan pertama adalah teh beserta satu teko/ mangkuk kosong untuk menampung teh bekas bilasan. Padahal alat makan yang digunakan masih dalam plastik steril lho, tapi tetap saja alat-alat makan tersebut mereka bilas dengan teh, rempong amat dah, sejak kapan juga teh punya khasiat jadi bahan antiseptik.




salah satu bangunan di Shamian Island
Saya hanya mengunjungi satu tempat wisata di Guangzhou karena waktu kunjungan yang pendek dan tujuan utama kunjungan adalah untuk bertemu teman papa saya itu. Tempat wisata yang saya kunjungi adalah Shamian Island, disebut island padahal tempat ini bukanlah pulau tersendiri, melainkan nama suatu kompleks tempat tinggal di Guangzhou. Shamian island ini dulunya adalah kompleks ekspatriat, seperti Perancis, US, dkk. Di dalamnya ada pusat pemerintahan, gereja, tempat tinggal, bank, sekolah yang dikhususkan untuk ekspatriat tersebut, sudah seperti 1 kota tersendiri deh. Shamian island ini terletak di tepi sungai Mutiara (Pearl river) yang tersohor itu. Sekarang lokasi ini jadi tempat wisata baik untuk orang lokal maupun turis, bangunan-bangunan khas kolonial masih dipertahankan di sini, sayangnya kalau menurut saya pemerintah setempat masih kurang memanfaatkan bangunan tersebut untuk menarik wisatawan. Bangunan itu memang masih berdiri kokoh, tapi tidak dapat di masuki, coba saja dibuat seperti Petite France di Korea atau kawasan Senado Square di Macau di mana setiap bangunan lama dimanfaatkan baik sebagai toko maupun museum, pasti akan lebih menguntungkan bagi mereka. Yang merusak pemandangan lagi ya, mau mengambil foto dengan latar yang bersih tanpa ada pemandangan mengganggu juga susah. Beberapa bangunan masih digunakan sebagai tempat tinggal dimana orang setempat punya kebiasaan menjemur pakaian ala mengibarkan bendera internasional gitu, saya sebut begitu karena jemur pakaiannya dengan menggantungkan pakaian di tiang dan kemudian tiang tersebut dijolorkan keluar rumah lewat jendela atau atas atap rumah. Persis banget deh sama tiang bendera umbul-umbul dengan berbagai bentuk dan warna. Belum lagi ada sekelompok orang yang bermain bulu tangkis di tengah jalan dengan net yang terbuat dari untaian kertas brosur, layaknya kita kalau memasang hiasan bendera merah putih plastik pas 17 an. fiuh... parah deh, mau foto pasti dapat background itu. Memang sih ada beberapa lokasi yang bebas dari hal-hal itu, tapi hanya sedikit sekali, dan biasanya lokasi tersebut dijadikan lokasi foto pre-wed. Shamian Island juga terkenal sebagai lokasi pre-wed di Guangzhou.


ayah dan anak lagi bermain bulu tangkis di tengah jalan - Shamian Island *perhatikan netnya terbuat dari brosur*

Cathedral di Shamian Island

Pearl River dilihat dari Shamian island

Satu-satunya yang bisa membuat saya kagum dengan Guangzhou adalah stasiun kereta apinya yang bagus, menyerupai mall. Jauh banget lah dengan stasiun kereta di negara kita. Kalau dibanding Korea, Singapura, Malaysia, Taiwan yang pernah saya kunjungi gak kalah baguslah stasiun keretanya ini. Walau saya bilang bagus dari segi bangunannya, tapi di dalamnya tetap ruwet. Petunjuk yang ada memang dalam 2 bahasa, Inggris dan Mandarin, tapi pada board pengumuman di ticket counter dan train boarding gate hanya ada tulisan mandarin saja. Ampun dah !! kalau soal tourist friendly saya masih tetap bilang Singapura dan Korea yang paling ok. Cara memasuki peron kereta juga kalah jauh dengan THSR Taiwan, padahal kereta yang saya naiki kemarin juga kereta cepat. Orang sana beneran tidak tau mengantri, gak ada bedalah sama orang-orang kita. Untuk memasuki boarding gate memang harus scan ticket sama halnya dengan THSR / subway, tapi begitu mau masuk peron tidak ada antrian sama sekali, semua orang berdiri di depan pintu berebutan masuk ke dalam pintu yang menghubungkan boarding gate dengan peron. Sampai di kereta orang-orang sana juga senangnya duduk sembarangan, hal ini juga terjadi pada saat saya naik bus dari border ke Guangzhou. Walau di tiket ada nomor kursinya, orang-orang tetap duduk sembarangan layaknya di bus-bus kita. Dibandingkan dengan THSR Taiwan yang punya ruang tunggu teratur layaknya boarding gate di bandara, dan prosedur naik ke kereta yang layaknya naik pesawat, bullet train China ini jauh bangetlah. Bullet trainnya sih ok, gak jauh beda dengan THSR, tapi sistem administrasi dan ketertiban penumpangnya masih jauh. Saran saya kalau mau naik kereta di China naiklah D-train yang berarti bullet train dan bayarlah lebih mahal untuk kelas satu/ VIP class, saya yang duduk di VIP class saja masih banyak menemui orang-orang yang duduk seenaknya sendiri gak sesuai nomor di tiket apalagi kalau duduk di kelas ekonomi. Yang beda lagi adalah pelayanannya, petugas di China ini dimanapun, jarang sekali ada yang sopan, pelayan di resto saja kalau antar makanan, cara menaruhnya dengan dibanting, gak bisa lemah lembut gitu. Penjaga loket tiket juga begitu, kalau ditanya jawabnya dengan nada ketus dan tidak jarang tidak membantu sama sekali, kita disuruh baca sendiri, untung saja saya mengerti bahasanya, coba kalau saya tidak berbahasa mandarin pasti lebih susah lagi. Gimana mau baca kalau tulisannya rata-rata dalam tulisan mandarin. Memang tidak semua mereka begitu, tapi menemukan petugas yang ramah hanya ada 1 dari 10 orang.
Kerumunan penumpang di depan gerbang menuju peron kereta *tidak ada antrian sama sekali*
Papan petunjuk di stasiun kereta - semua bertuliskan huruf Cina, jadi perhatikan baik-baik nomor keretanya

Next - Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China ... (edisi kota dan gaya hidup) - Part II

No comments:

Post a Comment